Jumat, 13 Mei 2011

Ketrampilan Mengajar Yang Dirindukan Siswa


Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses Pembelajaran di kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi; otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Artikel yang sedang anda baca ini, di dalamnya mencoba membahas bagaimana menjadi guru yang dirindukan siswa.

 Hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi terbukti kurang memuaskan berbagai pihak (yang berkepentingan – stakeholder). Hal tersebut setidak-tidaknya disebabkan oleh dua faktor yakni faktor guru (teacher behavior) dan faktor siswa (student behavior). Memang mutu pendidikan terjadi di dalam kelas, dan guru sebagai ujung tombaknya. Guru yang diartikan digugu lan ditiru (dipercaya dan diteladani), sangat dipercaya oleh siswa dan segala perilaku guru dicontoh anak didiknya. Dalam pengertian itu, seorang siswa selayaknya mematuhi apa yang dikatakan dan diperintah guru. Kenyataannya, yang demikian itu tidak selalu terjadi. Kondisi siswa yang heterogen sangat memungkinkan terjadinya suasana yang kurang bisa diharapkan. Dalam satu kelas, ada tipe siswa yang sangat patuh; tipe inilah yang diharapkan pendidik. Guru tidak akan dibuat pusing dengan tipe ini. Namun dalam kelas hampir selalu ada tipe lain yakni siswa yang tidak patuh dan sulit diatur. Dengan kehadiran siswa tipe tersebut, tidak mudah bagi seorang guru untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang nyaman. Jika guru mengajar siswa tipe pertama, suasana hati guru senang. Sebaliknya, jika akan mengajar kelompok siswa tipe kedua, guru akan merasa terbebani. Bahkan, tak jarang guru merasa berat hati mengajar kelompok siswa tipe ini. Kondisi begitu ternyata mempengaruhi metode pembelajaran terhadap siswa. Guru cenderung memilih metode pembelajaran yang asal-asalan dan kurang sistematis. Akibatnya, penyampaian materi jadi amburadul dan tidak sistematis. Dampaknya, siswa tidak memperoleh pengalaman belajar sebagaimana yang diinginkan guru setelah proses mengajar. Jika kondisi ini dibiarkan bisa dipastikan siswa tidak akan belajar. Siswa akan bosan dan ujung-ujungnya tidak menyukai si guru dan pelajaran yang diajarkannya. Padahal, bila siswa tidak menyukai pelajaran, sulit diharapkan mereka berprestasi dalam pelajaran tersebut. Demikian pula, jika siswa tidak menyukai guru, jangan harap mereka berdisiplin dan aktif saat si guru mengajar. Guru akan kian sulit mengelola kelas. Suasana kondusif untuk belajar akan kian sulit diciptakan. Tentu, yang begitu tidak seharusnya terjadi. Pertanyaannya, bagaimana solusinya? Sebagai guru, kita harus siap menghadapi segala tipe siswa dalam kelompok siswa yang heterogen. Gurulah yang harus menciptakan kondisi agar siswa aktif dan mengerti apa yang harus mereka lakukan. Seperti yang disitir oleh Dr. Didi Suherdi, M.Ed (dosen Pasca Sarjana UPI Bandung), guru cukup menyediakan kardus kosong saat di dalam kelas dan biarkan siswa yang mengisinya, dengan demikian guru tidak akan merasa lelah dan capek, yang ada siguru merasa lega setelah keluar dari pintu kelas. Alangkah indahnya jika guru mampu melaksanakan demikian. Nah, agar suasana seperti itu dapat tercipta di dalam kelas, guru perlu memiliki minimal 2 (dua) ketrampilan sebagai berikut;
Yang pertama; Kemampuan menerapkan teknik belajar aktif (active learning techniques) dalam kelas.
Beberapa tips yang mungkin bisa dilakukan guru untuk menerapkan ketrampilan ini adalah, pertama; mengumpan sejumlah pertanyaan (leading question) sebelum memulai materi pelajaran. Hal ini akan menantang dan mendorong kemampuan kognitif siswa dan menjadi umpan balik (feedback) bagi guru. Kedua; menghubungkan topik ajar dengan konteks dunia luar yang akrab dan menarik bagi siswa. Ketiga; brainstorming, teknik pemecahan masalah dimana seluruh siswa secara spontan menyumbangkan ide/pendapat dan mengkonstruksinya untuk memecahkan masalah. Keempat; tampilan gambar (visually teaching), sangat berguna untuk membuat siswa memahami materi dengan cara-cara yang lebih kongrit dan kontekstual. Kelima; simulasi dan bermain peran untuk melatih siswa mengaktualisasikan kemampuan komunikasi (communicative competence) dan kerjasama. Keenam; debat siswa (student debate), metode ini merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih dan disusun menjadi paket pro dan kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat orang. Di dalam kelompoknya, siswa (dua orang mengambil posisi pro dan dua orang lainnya dalam posisi kontra) melakukan perdebatan tentang topik yang ditugaskan. Laporan masing-masing kelompok yang menyangkut kedua posisi pro dan kontra diberikan kepada guru, selanjutnya guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi yang meliputi kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa terlibat dalam prosedur debat. Ketujuh; diskusi lingkar meja (round table discussion) dengan teknik yang diatur sedemikian rupa sehingga setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam kegiatan diskusi. Kedelapan; pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning) dimana guru mengumpan siswa dengan masalah dan memposisikan mereka sebagai penyelesai masalah (problem solver). Siswa berkolaborasi dalam kelompok kecil dan guru memfasilitasi dalam pemecahan masalah tersebut.
Yang kedua/terakhir; Kemampuan menerapkan teknik belajar bersama (collaborative learning).
Menerapkan teknik belajar bersama (collaborative learning) di dalam kelas adalah ketrampilan minimal yang harus dimiliki seorang guru. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan  untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar. Langkah pertama agar teknik ini bisa berjalan efektif adalah, pertama; guru sudah merencanakan baik dari segi topik, tema ataupun proyek yang akan didiskusikan. Kedua; menjelaskan tujuan akhir atau kompetensi yang ingin dicapai dalam kegiatan tersebut kepada siswa serta petunjuk teknisnya. Ketiga;  bekerja kolaborasi mungkin hal yang baru bagi sebagian siswa, karena itu guru perlu mendiskusikan hal tersebut agar siswa bisa aktif, toleransi, saling membantu mempelajari materi, termasuk menuntun mereka untuk memberi dan menerima kritik antar siswa. Keempat; menciptakan kondisi yang membuat siswa dalam kelompok bisa merasa bahwa mereka tenggelam atau berenang bersama (’sink or swim’ together) sehingga saling bertanggung jawab atas pencapaian tujuan kerja kelompok. Sadar atau tidak, belajar bersama (collaborative learning) sangat efektif untuk membuat siswa belajar lebih dari yang diajarkan dan lebih aktif terlibat  dalam proses pembelajaran di kelas dan hal ini merupakan cara belajar terbaik dan dengan sendirinya akan mengurangi dominasi guru.
Perlu diingat, semakin trampil guru dalam menyampaikan materi, semakin besar peluang siswa untuk belajar maksimal di kelas.  Jika hal tersebut di atas sudah tercipta, guru akan lebih mudah menaklukkan siswa. Kian trampil guru memilih metode pembelajaran tiap kali menyampaikan materi, kian kecil kemungkinan siswa bosan mengikuti pelajaran. Guru akan lebih mudah menciptakan suasana kondusif dan siswa akan lebih mudah dikondisikan. Pengelolaan kelas akan berjalan dengan baik. Dampaknya, siswa akan belajar setelah guru mengajar. Siswa akan merindukan kehadiran guru di kelas. Siswa akan haus materi pelajaran yang dibawakan si guru. Bisa dibayangkan, betapa indah saat kita berada di posisi guru yang dirindukan siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar